Pondok Pesantren Walibarokah Kediri
Ponpes Walibarokah Burengan Banjaran Kediri berada dibawah naungan Yayasan Walibarokah didirikan atas pendapat KH.Nurhasan Al-Ubaidah Lubis Al-musyawah Bin KH Abdul Aziz yang ingin menyebarkan agama islam secara murni, mukhlis yang berpedoman kitab suci Al_Qur'an dan Al-Hadits dengan berlandasan pada hak dasar kebebasan beragama yang dijamain oleh Undang-Undang Dasar 1945, maka diperjuangkanlah syiar agama islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai kelanjutan perjuangan bangsa indonesia untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, mencapai cita-cita bangsa indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaannya, perdamaian abadi dan keadilan sosial, mutlak diperlukan partisipasi dan peran serta dari segenap lapisan masyarakat indonesia. Memberikan peningkatan kehidupan beragama serta partisipasi pembangunan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik material maupun spiritual dan berakhlakul karimah bagi seluruh rakyat indonesia.
Secara historis pendiri Yayasan Wali Barokah ini diawali
pada tahun 1950, saat KH. Nurhasan Al Ubaidah bertabligh ke wilayah Kota Kediri
atas permintaan Mbah Damah dan atas saran dari H. Harun (putra ke-3 dari Mbah
Damah sekaligus teman KH. Nur hasan Al Ubaidah sewaktu belajar bersama ilmu
tentang agama islam di Arab Saudi selama 10 tahun), dimana sebelumnya Mbah
Damah, akan tetapi ditolak secara halus oleh H. Harun untuk kembali pulang ke
Kota Kediri dan melakukan dakwah untuk keluarga besar Mbah Damah, akan tetapi
ditolak secara halus oleh H. Harun dengan mengajukan teman belajarnya sewaktu
berada di Araab Saudi untuk melakukan dakwah, yaitu : KH. Nurhasan Al Ubaidah.
Kemudian dakwahnya dilakukan di sebuah surau milik Mbah Damah yang pada waktu
itu dikenal sebagai orang kaya di Desa Burengan, Kecamatan Pesantren, Kota
Kediri. Pada waktu itu diadakan pengajian Al Qur’an yang diikuti 25 orang.
Berkat kesabaran dan kegigihannya, lama kemudian Dia membeli
sebuah rumah di jalan Kenari No. 9 (sekarang di kenal dengan Ledjend. Supatro
gang i/21 Kediri) yang lokasinya berdekatan dengan surau Mbah Damah (telah
diwaqafkan oleh Mbah Damah dan menjadi Masjid Utama di lingkungan Ponpes Wali
Barokah Kediri) dan kemudian menjadi cikal bakal Pondok Pesantren di Desa Burengan,
Kecamatan Banjaran, Kota Kediri yang akhirnya menjadi sebuah Pondok Pesantren
besar bernama Pondok Pesantren Wali Barokah Burengan-Banjaran Kediri.
Pada akhir tahun 1971 dikarenakan kondisi fisik KH. Nurhasan
Al Ubaidah mulai menurun dan sakit yang berkepanjangan, maka pengelolaan Pondok
Pesantren Burengan-Banjaran Kediri diserahkan kepada Yayasan Lembaga Karyawan
Islam Lemkari) di bawah pimpinan Drs Bachroni Hartanto.
Pada hari kamis, tanggal 11 Maret 1982 Dia wafat dan sebagai
pengesahannya secara yuridis, pada tanggal 03 Mei 1983 para ahli waris yang
diwakili oleh KH. Abdul Dohir menyerahkan pengelola Pondok Pesantren Burengan-Banjaran
Kediri kepada pendiri Lemkari Raden Eddy Masiadi, Drs Bachroni Hartanto,
Soetojo Wirjo Atmodjo BA, Wijono BA, Drs. Nurhasjim yang dalam kota
penyerahannya diwakili oleh KH. Abdul Dhohir menyerahkan pengelolaan Pondok
Pesantren Lemkari Burengan-Banjaran Kediri.
Dalam perkembangan Pondok Pesantren Lemkari yang selanjutnya
diadopsi sebagai nama Yayasan Wali Barokah mengembangkan sarana dan prasarana
diantaranya adalah gedung DMC, Gedung Wali Barokah yang dijadikan ruang utama
kegiatan belajar mengajar dan menara tertinggi di Indonesia yaitu menara asma’ul
husna. Sesuai dengan namanya menara ini tingginya 99 meter dengan kubah/mahkota
berlapis emas seberat 60 kg. Menara Asmaulhusna dapat dilihat dari berbagai
pelosok Kota Kediri. Sebaliknya jamaah muslim dapat melihat seluruh penjuru
Kota Kediri dari ketinggian setiap balkon menara. Menara Asma’ulhusna saat ini
tercatat sebagai menara islam tertinggi di Indonesia dan telah menjadi ikon
(landmark) Kota Kediriyang sangat menonjol dan indah. Bandingkan dengan Monas
Jakarta yang tingginya 132 meter (433 ft). Secara filosofi Menara Asma’ulhusna merupakan identitas LDII dan symbol KEBESARAN
dan KEBENARAN QUR’AN HADITS yang dibawa oleh Lembaga Dakwah Islam Indonesia.
Komentar
Posting Komentar